Memperbaiki Kurikulum Perguruan Tinggi dengan Literasi Adventure

Memperbaiki Kurikulum Perguruan Tinggi dengan Literasi Adventure

Literasi Adventure di Kafe Pinggir Sungai membahas Praktik Pengelolaan Dana Desa dengan Pendamping Desa yang diinisiasi oleh mahasiswa

artikel ini pernah diterbitkan di Indonesia Development Forum

    Terlahir di era bonus demografi bukanlah sesuatu hal yang mudah. Di satu sisi persaingan semakin ketat, kita dituntut untuk mengikuti zaman, kita dituntut untuk bisa beradaptasi dengan lingkungan. Namun di sisi lain sistem pendidikan Indonesia tak kunjung berubah. Menghafal, di dalam kelas, dan monoton!. Tidak mampu mengembangkan kreativitas atau sekedar memuaskan rasa ingin tahu anak-anak muda. Padahal sesungguhnya generasi millenial adalah generasi yang mempunyai rasa ingin tahu yang tinggi. Apabila hal ini tidak dimanfaatkan dengan baik, maka tidak dapat dipungkiri jika para pemuda justru lebih banyak mengetahui hal-hal yang negatif daripada hal-hal positif. Disinilah kecacatan sistem pendidikan Indonesia saat ini. Pendidikan yang positif kalah menarik dengan konten-konten negatif yang saat ini sangat mudah didapatkan dengan internet. Oleh karena itu perlu adanya inovasi cara belajar yang sesuai dengan karakteristik generasi millenial saat ini. Karena jika tidak segera dirubah, anak-anak muda lulusan SMA dan sarjana hanya akan menjadi manusia pongah yang tak bisa bertahan di dunia nyata. 

    Lalu kemudian saya berpikir, bagaimana sistem pendidikan yang relevan dengan karakteristik generasi millenial? Sebelumnya kita perlu memerhatikan bagaimana karakteristik generasi millenial saat ini. Dalam artikel yang dilansir dari www.ruangguru.com, terdapat beberapa karakteristik generasi millenial dalam belajar, antara lain suka belajar berkelompok, memanfaatkan teknologi dalam kegiatan belajar, menyukai experiental learning (belajar dari pengalaman), menyukai metode belajar learning by doing, bisa mengerjakan banyak hal dalam satu waktu, membutuhkan tujuan yang jelas di awal pelajaran dan feedback yang cepat. Karakteristik cara belajar yang disukai generasi millenial dapat disatukan dengan karakteristik lainnya, yaitu  mereka lebih suka berpetualang dan mencari hal-hal yang baru. 

Salah satu inovasi yang dapat diwujudkan adalah dengan menerapkan “Literasi Adventure”, Literasi yang dimaksud disini bukan hanya kemampuan membaca dan menulis, namun juga kemampuan mengolah informasi menjadi sesuatu yang berguna dalam kehidupan. "Literasi adventure" ini merupakan suatu program belajar dimana anak-anak muda dapat belajar langsung dengan masyarakat dan berbagai komunitas tanpa terkekang dalam suatu ruang, namun dengan berpetualang. Saya menyadari, sebenarnya banyak komunitas lokal yang dapat menjadi tempat belajar namun selama ini tidak terjaring dan kurang diketahui oleh anak-anak muda. Banyak pula komunitas yang pada akhirnya “mati” karena tidak adanya aktivitas dan orang-orang yang mendukungnya untuk “bangkit”. “Literasi Adventure”, pada akhirnya akan menjadi jembatan penghubung antara institusi pendidikan dengan masyarakat dan komunitas yang akan bersinergi dan saling menguatkan. Sehingga, pada akhirnya, institusi pendidikan tidak hanya sekedar mencetak pekerja-pekerja yang patuh. Namun manusia-manusia yang kritis dan mau melakukan perubahan positif yang nyata bagi Indonesia.

Konsep penerapan "Literasi Adventure" sebenarnya tidak sulit, kita hanya perlu jejaring komunitas. Literasi Adventure tergabung dalam suatu mata pelajaran atau mata kuliah, kemudian kita belajar langsung dari masyarakat. Saya dan beberapa teman yang menyukai topik yang sama misalnya, mencari praktisi di bidang tersebut, kemudian kami berkumpul di suatu tempat dan saling berbagi ide bagaimana memecahkan suatu permasalahan. Kami membuat pamflet kecil-kecilan dan ternyata banyak yang tertarik untuk mengikutinya. Namun tentu saja ini merupakan inisiatif anak muda sendiri. Berapa banyak anak muda yang belum bisa mencari jaringan untuk sesuatu hal yang ia minati. Kemanakah saya ingin belajar desain grafis, digital marketing, gerakan sosial, teknik sablon? Peran institusi pendidikanlah yang seharusnya menyediakan ruang untuk anak muda dapat lebih kreatif, inovatif, dan solutif. Belajar tidak hanya di dalam kelas, belajar bisa dimana saja, sambil berpetualang. Kampus dapat menerapkannya dengan membangun jejaring dengan komunitas dan mengikutsertakan mahasiswa dalam komunitas tersebut dalam suatu project sosial yang sesuai dengan mata kuliah.

    Menurut Dr. Ana, M.Pd dalam The 5th UPI International Conference on Thecnical and Vocational Education and Training bulan September 2018 lalu, ketrampilan yang dibutuhkan di era industri 4.0 saat ini adalah literasi media, keaksaraan visual, literasi multikultural, kesadaran global, dan literasi teknologi. Selain itu, pekerja harus kreatif dalam memecahkan masalah dan berani ambil resiko. Pemuda harus melek teknologi, memiliki ketrampilan belajar dan berinovasi, mempunyai karakter yang baik, serta kemampuan komunikasi. Di era industri 4.0, kemampuan-kemampuan yang dihasilkan dari pendidikan gaya bank seperti menghafal dan indoktrinasi sudah tidak relevan lagi. Menurut Dr. Ana, M.Pd, peningkatan kapasitas pekerja merupakan komponen penting di dunia industri agar tidak kalah bersaing. Dengan “Literasi Adventure”, anak-anak muda dapat dilatih softskill sekaligus ketrampilan praktis dalam memecahkan permasalahan sosial.

Comments