![]() |
Abstract Art Original Colorful Funky House Painting Home On The Hill By Madart is a painting by Megan Duncanson which was uploaded on October 4th, 2012. |
Kebhinekaan adalah suatu keniscayaan. Perbedaan adalah takdir yang mesti dipahami oleh setiap insan. Tuhan menciptakan manusia berbeda-beda agar dapat saling mengenal. Namun tidak semua masyarakat dapat menerima perbedaan. Terkadang ia merasa tinggi dan paling benar sendiri bahkan merendahkan orang lain. Mereka lupa bahwa mereka adalah sama, sama-sama manusia!.
Indonesia merupakan negara yang sangat kaya akan budaya,
terdapat banyak suku, agama, serta bermacam-macam kepercayaan yang dianut oleh
masyarakatnya sejak dahulu. Kebhinekaan negara Indonesia seperti pisau bermata
dua, di satu sisi hal tersebut dapat menjadi kekayaan yang tak ternilai,
menciptakan banyak pengetahuan dan kebudayaan. Namun disisi lain dapat menjadi
“bom” yang meledak sewaktu-waktu, meluluhlantahkan bumi Indonesia, seperti yang
dikhawatirkan akhir-akhir ini.
Situasi memanas begitu terasa ketika Pilkada DKI 2017,
ketika seorang walikota beretnis Tionghoa dan beragama non Islam diduga
melecehkan agama Islam. Ketika itu seakan-akan masyarakat Indonesia berada di
dua kubu, Pribumi-Tionghoa, Islam-Non Islam. Hal tersebut tidak perlu kita
tutup-tutupi, memang begitulah kenyataannya. Bahkan sampai saat ini sentimen
terhadap etnis dan agama masih melekat di benak masyarakat Indonesia.
Hal tersebut sebenarnya mudah saja dapat dipahami, manusia
adalah makhluk yang egois, manusia mempunyai kecenderungan untuk merasa benar
sendiri. Namun jika “perasaan benar” ini berlebihan, maka dapat menjadikan
etnosentrisme (mengunggulkan etnis), chauvinisme (mengunggulkan bangsa). Sudah
banyak sejarah pertumpahan darah yang tercatatat akibat perasaan etnosentrisme
dan chauvinisme ini, seperti Holocaust di Jerman, atau pembantaian Suku
Dayak-Madura. Setiap manusia mesti memahami perbedaan agar hal itu tidak
terulang kembali.
MENCIPTAKAN MASYARAKAT YANG TERBUKA
Jauh dari hiruk pikuk kekacauan politik, perbedaan etnis dan
agama yang terjadi di beberapa kota. Ternyata di Bumi Lasem, suatu kecamatan
kecil di Rembang, masih menyimpan kedamaian. Kita seakan melihat Indonesia yang
lain dari apa yang kita lihat di layar televisi sehari-hari. Disana kita dapat
menemukan Tionghoa dan Pribumi dapat bersatu, Islam dan Non Islam saling
bekerjasama satu sama lain. Lasem terkenal sebagai kota santri yang banyak
melahirkan ulama-ulama besar, seperti KH Ma’Sum, KH Baidlowi, KH Kholil yang
merupakan tokoh ulama kharismatik di kalangan organisasi Nahdlatul Ulama (NU).
Dkota ini juga tersebar banyak pesantren yang mengajarkan agama Islam.[1]
Namun disisi lain, Lasem juga disebut sebagai Kota China dan Tiongkok kecil.
Menurut N.J Krom, perkampungan China di Masa Majapahit telah ada sejak
1294-1527, dibuktikan dengan adanya bangunan khas Tiongkok.[2]
Hal ini membuktikan bahwa sudah sejak dulu etnis Tionghoa
dan Jawa hidup berdampingan dengan damai. Hal ini disebabkan pula karena
kondisi geografis kota Lasem sebagai kota pelabuhan yang terbiasa dengan kehidupan
terbuka dan plural. Kondisi geografis ini kemudian membentuk budaya keterbukaan
dan saling menghargai. Bahkan pada tahun 1727, Pakubuwono II mengangkat Oei Ing
Kiat yang beragama Islam sebagai Adipati Lasem dengan gelar Tumenggung
Widyaningrat. Namun ia tidak tinggal dalam istana dan tetap menghormati Adipati sebelumnya, yaitu
Adipati Tejakusuma V.
Pada masa pemerintahannya, banyak orang-orang Tionghoa
Batavia korban peristiwa Angke pada
tahun 1740 mengungsi ke Semarang dan Lasem. Oei Ing Kiat menampung mereka dan
mengijinkan mereka menempati perkampungan di tepi Sungai Kamandhung, Karang
Turi, Pereng, dan Soditan. Mereka umumnya bekerja sebagai buruh dan pedagang
yang semakin meramaikan perekonomian Lasem. Mereka juga bergotongroyong untuk
mengeruk dan memperdalam sungai Babagan sehingga menjadi pelabuhan yang sangat
ramai. Suasana masyarakat yang terbuka, dapat menerima perbedaan, dan bergotong
royong ternyata dapat meningkatkan kesejahteraan pada masyarakatnya.
Namun kedamaian ini kemudian mulai terusik ketika datang VOC
yang mendirikan pemerintahan baru di Rembang pada Tahun 1741 dengan mengangkat
Hangabei Hanggojoyo sebagai Bupati Rembang I. Hal ini menjadi ancaman serius
bagi Lasem. Akhirnya, Oei Ing Kiat, Tan Ke Wi (hartawan Tionghoa) dan Raden Panji
Margono (Putra Tejakusuma V) mengadakan perlawanan terhadap VOC. Sayangnya,
perlawanan ini dapat digagalkan oleh VOC. Tahun 1743, Lasem berada di bawah
kekuasaan VOC. Orang-orang Tionghoa yang tinggal di desa-desa dipaksa pindah ke
kota dan harus berkumpul bersama orang-orang Tionghoa kota dalam satu kawasan
pemukiman yang terisolir. Hal tersebut di beberapa tempat menyebabkan pemisahan
(segregasi) antara etnis Tionghoa dengan pribumi.
Di beberapa tempat di Lasem sampai saat ini dapat kita temui
gedung-gedung khas Tionghoa yang berdekatan dengan pondok pesantren maupun
perkampungan Jawa. Hal tersebut rupanya tidak terlepas dari kebijakan
pemerintah Lasem yang membangun pondok pesantren dan masjid di dekat kampung Pecinan.
Bahkan terdapat klenteng yang menjadikan Raden Panji yang dijadikan pahlawan
dan menempatkan patungnya di dalam klentheng. Terdapat ornamen khas Tionghoa di
dalam pondok pesantren. Tidak ada masyarakat yang menolak hal tersebut. Semua
saling menghargai satu sama lain. Di Lasem, perbedaan agama adalah hal yang
biasa. Berbeda agama dalam satu keluargapun merupakan hal yang wajar. Bahkan
ada di pondok pesantren Kauman yang mempunyai guru bahasa arab beretnis
Tionghoa. Bagi mereka, agama dan budaya merupakan pilihan.
KESIMPULAN: BELAJAR DARI LASEM
Dalam kehidupan pada awalnya kita tidak dapat memilih di
keluarga mana kita akan dilahirkan, dari etnis mana, atau beragama apa. Namun
seiring berjalannya waktu manusia pasti akan memilih jalannya. Etnis Tionghoa
tidak bisa memilih ingin dilahirkan menjadi keturunan Tionghoa atau Jawa. Namun
mereka adalah masyarakat Indonesia. Begitupula dengan agama, tidak perlu kita
merendahkan agama lain untuk meninggikan agama kita masing-masing. Beragama itu
adalah pilihan masing-masing orang.
Menciptakan masyarakat yang terbuka tidak semudah
membalikkan telapak tangan. Dibutuhkan waktu yang cukup panjang agar suatu
nilai dapat merasuk dalam jiwa manusia, diturunkan pada anak cucunya, hingga
akhirnya menjadi suatu kebudayaan. Belajar dari terjaganya budaya multikultural
di Lasem ternyata tidak terlepas dari peran pemerintah dalam membuat kebijakan
yang mengakomodasi segala pihak.
Pemerintah dengan sengaja membuat tata kota sedemikian rupa
yang membaurkan perbedaan tanpa membedakan. Setiap tempat diberi kebebasan
untuk berakulturasi dengan lingkungannya. Hal ini didukung pula oleh pemimpin
agama yang mau saling menghargai satu sama lain bahkan bergotong royong dalam
acara keagamaan lain. Masyarakat Lasem telah membuktikan bahwa sebenarnya
ketika masyarakat bersatu, dapat menciptakan kesejahteraan. Etnis Tionghoa dan
Jawa tetap dapat bekerjasama di bidang ekonomi, pendidikan, sosial-budaya.
Setiap tahunnya diadakan Festival Lasem untuk menjaga nilai-nilai luhur nenek
moyang lasem, keterbukaan, saling menghargai, dan gotong royong di dalam
kebhinekaan.
[1]
Unjiya. Lasem Negeri Dampoawang Sejarah yang Terlupakan, (Yogyakarta: Eja
publisher, 2008), hlm. 38
[2]
Pratiwo. The Historical Reading of Lasem, (Leuven: Khatolika Universieit
Leuven, 1990), hlm.2
Comments
Post a Comment
Silakan komentar :)