Hari libur terasa sangat membosankan jika
hanya diisi dengan tidur di kasur dan menjadi seorang penyakitan.
Beberapa teman datang menjenguk menanyakan keadaan tubuh ini, apakah
baik-baik saja?. Sebenarnya penyakit biasa, masuk angin ditambah pilek
yang tak kunjung sembuh sejak aku masuk SMA. Bapak mungkin sudah bosan
menyuruhku untuk olahraga, Ibu juga tak berbeda. Bahkan ia menyuruhku
mendownload video senam!. Jelas langsung kutolak ide yang aku anggap
aneh itu. Ya, memang akulah yang harus menjaga kesehatanku. Kalau bukan
aku, maka siapa lagi? lambat laun kedua orangtuaku akan semakin tua dan
aku tidak seharunya terus bermanja-manjaan dengan Bapak dan Ibu. Tapi
penyakit ini... ahhh! membuat orang menjadi semakin malas saja
berolahraga. Ingin lari pagi, namun udara terlalu dingin dan pilek ku
bertambah parah jika bertemu dengan udara dingin. Lebih baik tidur dan
mengistirahatkan tubuh ini. Kepalaku juga pusing entah karena terlalu
banyak tidur atau bagaimana, yang jelas persendianku ikut pegal-pegal. Fix, ini
karena liburanku diisi dengan bermalas-malasan. Ya aku tahu... aku tahu
harus berolahraga dan banyak bergerak. Tapi entah mengapa antara tubuh
dan pikiran ini tak sejalan. Tubuh ini sangat malas untuk mengangkat
diri sendiri.
“Kau tau kan semua di dunia ini mempunyai ajalnya masing-masing?”, tanya seorang teman kepadaku.
“Maksudnya?” Tanyaku tak memahami apa yang ingin disampaikannya.
“Ya
misalnya ada orang yang matanya tidak bisa melihat, atau kakinya tidak
bisa berjalan lagi karena lumpuh atau harus diamputasi, bukankah bagian
tubuh itu berarti telah mati mendahului kita, walaupun jantung kita
masih berdetak, masih hidup.”
“Emm...
yaa...” Gumamku menanggapi pernyataannya. Sejujurnya aku tak ingin
membahas ini lebih lanjut. Kepalaku terlalu pusing untuk memikirkan
hal-hal semacam itu.
“Bagaimana jika aku tiba-tiba menjadi buta?” Tanyanya tiba-tiba.
Sontak aku kaget, pertanyaan macam apa itu...
“Ya
kau hanya perlu bersabar, karena itu sudah menjadi takdir. Tapi selama
kau masih baik-baik saja, jagalah matamu yang hanya satu-satunya itu!”
Seruku sinis.
Tiba-tiba dia tertawa keras sekali,
“Hahahaha... Kau memang selalu begitu, tak pernah berubah, tetap menjadi seperti itu sejak dulu aku mengenalmu” Katanya.
“Apanya yang lucu?” Kataku dengan mimik sebal
“Ya
kau selalu begitu itu... Sangat pandai memberi nasehat kepada orang
lain, tapi kepada dirimu sendiri kau bagaimana? Kau bahkan terlalu malas
menjaga dirimu sendiri.” Jawabnya sambil masih tertawa.
Aku
tidak menjawabnya karena sebal, kata-katanya benar-benar tepat
menggambarkan diriku namun begitu menusuk. Oh begini pahitkah yang
namanya kebenaran itu?. Aku tak ingin mengakui kelemahanku, dan
kata-katanya memang tak perlu ditanggapi. Aku mengalihkan pembicaraan
ini.
“Lalu, kau sendiri bagaimana? Apa yang kau lakukan selama hari libur?” tanyaku
“Hari
libur itu waktunya untuk berolahraga, merilekskan tubuh kita yang jenuh
melakukan pekerjaan yang berulang-ulang itu. Atau bermeditasi di
tempat-tempat yang menenangkan. Liburan hanya tidur dirumah apa enaknya?
Hahaha”, lagi-lagi dia menyindirku.
Aku diam saja... hening...
“Kau
tahu, aku punya teman yang bisa lari bolak-balik dari gunung slamet
hanya dalam beberapa jam! Gila kan. Kemarin juga aku mendaki gunung,
tapi sayangnya sedang badai besar di atas sana. Jadi aku hanya
mendirikan tenda di padang sabana. Tiga hari aku di guyur hujan, coba
bayangkan!” Katanya menceritakan liburannya yang sepertinya
menyenangkan.
“Tiga hari kehujanan kok kamu ngga sakit?” tanyaku heran. Aku terkena angin laut saja sudah masuk angin begini.
“Ya
untunglah sebelum kehujanan aku sempat naik gunung, ibaratnya seperti
berolahraga lah. Dengan begitu daya tahan tubuhku menjadi lebih kuat.
Ngga kaya kamu.” Kata-katanya mengejek aku terus.
Sshh..
sudah berapa kali aku diejek dia begini. Berkali-kali bahkan. Tidak
terhitung!. Tapi meski begitu, kata-katanya ada benarnya juga. Aku
memang butuh berolahraga dan sepertinya olahraga itu menyenangkan juga
untuk mengisi liburan daripada hanya tidur bermalas-malasan seperti ini,
tak ada yang ku kerjakan. Hidup hanya pergantian hari dan waktu. Tak
ada yang berubah dengan diriku. Apakah hidup yang seperti itu masih bisa
dianggap “hidup”? Ya sudah ditetapkan bahwa mulai besok aku harus bisa
merawat tubuhku sendiri, menjaga tubuhku sendiri. Tubuh yang hanya
satu-satunya ini.
Langit pagi begitu
cerah, udara juga tak begitu dingin. Aku mengambil sepedaku dan pergi
ke lapangan 21. Aneh saja, sudah hampir setahun aku tinggal di dekat
lapangan ini, namun baru pertama kali aku menapakkan kakiku di sini.
Lapangan sebagus ini, sayang sekali jika dibiarkan begitu saja, tiada
yang memanfaatkan. Pemerintah hanya menghamburkan uang yang sia-sia
untuk pembangunan dan pembangunan, tapi tidak terpakai. Sedangkan diluar
sana masih terjadi kemiskinan dan anak yang putus sekolah,.
Sekilas
aku berpikir dan membenahi pemikiranku yang mulai liar. Tapi bukan..
bukan... bukan salah pemerintah yang menghabiskan dana untuk memperbaiki
fasilitas umum namun tidak dimanfaatkan warganya. Tapi salahku, salahku
yang terlalu malas berolahraga walaupun sudah difasilitasi sedemikian
rupa. Padahal olahraga memang penting untuk tubuh kita. Ya, kata-kata
ini memang baru aku pahami maknanya kemarin. Bagaimana jika salah satu
bagian dari tubuh kita mati mendahului kita? Apa kita hanya akan
bersabar dan beryukur bahwa tubuh yang lain masih diberi kehidupan. Ah,
mungkin mengucap syukur pun sebenarnya sudah tidak pantas.
Kemana
saja kau selama ini ketika tubuh itu masih sehat? Ketika tubuh ini
masih ada bersamamu? Kau hanya tidur-tiduran tanpa melakukan apa-apa.
Merawat diri saja tidak bisa, bagaimana katanya kau dapat menjadi orang
yang seperti selama ini kau cita-citakan. Bahkan begitu banyak orang
yang menginginkan hidup kembali setelah mati. Namun kau malah
menyia-nyiakan hidup yang hanya sekali ini. Aku mengutuk diriku sendiri.
Di lapangan itu ada beberapa orang tua yang berolahraga. Ah, apakah
hanya orang tua yang sadar akan pentingnya kesehatan? Ketika kita sudah
mulai dekat dengan ajal. Padahal ajal tidak tergantung umur bukan?.
Aku
mulai berlari-lari kecil dan meregangkan tubuhku. Udara pagi memang
menyegarkan, belum banyak polusi yang dapat menyesakkan dada. Andai
seluruh hari itu hanya pagi. Andai waktu dapat berhenti dan selamanya
begini. Aku ingin bisa menghirup udara seperti ini lebih lama lagi. Oh
paru-paru, kau paru-paruku satu-satunya... Hiruplah udara suci ini
sebanyak yang kau mampu, mungkin besok kita tidak bisa menikmatinya
lagi. Maafkan aku selama ini membebani tugasmu dengan menghirup
banyaknya udara kotor sehingga kau harus berulang kali menyaringnya. Apa
kau lelah? Tentu saja kau lelah, sangat sedikit waktu yang ku luangkan
untuk sekedar membawamu ke tempat-tempat dengan udara bersih. Apa kau
mau memaafkanku? Aku berjanji akan lebih sering membawamu ke tempat
tempat yang udaranya belum tercemari. Dan aku berusaha seedikit mungkin
sebisaku untuk tidak ikut menyakiti paru-paru orang lain. Kau dan
paru-paru yang lain tentu sangat ingin bernafas lega di tempat yang
sudah semakin sesak ini kan? Aku akan membantumu sebisaku.
Jantungku...
kau begitu lemah bekerja. Bukan salahmu tentu. Jika kau masih saja
lemah, maka itu salahku yang tak melatihmu bekerja agar lebih kuat. Apa
kau masih mau bertahan bersamaku lebih lama lagi? Mengalirkan
darah-darahku dan membuat aku menjadi tetap hidup? Aku akan berusaha
melatihmu agar dapat bekerja dengan maksimal. Agar kita tetap hidup.
Masih banyak hal yang ingin aku temui di dunia ini. Kau dan aku adalah
satu, tapi maafkan aku jika akhir-akhir ini aku terbuai dengan rasa
kemalasanku. Bukan akhir-akhir ini sebenarnya, tapi sejak dulu. Aku tahu
kau begitu lemah sampai tak kuat berlari lama. Aku tahu itu, tapi
justru tak segera memperbaiki diri. Aku tahu kau bekerja hanya sesuai
kebiasaanmu. Selama ini kita tak terlalu banyak bekerja, pastinya kau
bekerja sangat santai. Tidak melelahkan memang, kan?. Tapi nanti di
suatu hari ketika takdir mengharuskan kita bekerja lebih keras bahkan
sangat keras bisakah kita bertahan dengan kau yang masih begitu lemah?.
Kau akan terkejut dan aku takut kita takkan bisa menyelesaikan tugas
kita sampai akhir. Aku seperti merasakan bahwa takdir kita akan menjadi
berat karena banyak hal yang ingin aku lakukan. Maka, bertahanlah
sayang. Kita akan bisa melewati semua ini. Aku akan mempersiapkan semua
itu mulai dari saat ini. Kita akan bekerjasama menjalani kehidupan yang
sangat berharga ini.
Paru-paru...
jantung... lambung... tangan... kaki... mata... dan seluruh tubuhku yang
lain... Terima kasih karena sudah hampir sembilan belas tahun
menemaniku dan membuatku terus hidup. Kalian pasti lelah, aku tahu. Kita
melewati sembilan belas tahun bersama, namun baru kali ini aku mengajak
berbincang dengan kalian. Maukah kalian memaafkanku? Kita perbaiki diri
ini dan menjadikan kehidupan seorang anak ini menjadi bermakna. Apa
yang ia cari di dunia ini? Untuk apa dia ada di bumi ini? Mari kita cari
tujuan keberadaan kita bersama-sama. Dan hati... lama sekali kau tak
berbicara padaku. Marahkah engkau padaku? karena semakin dewasa usiaku
aku bahkan menjadi mengabaikanku dan hidup semauku sendiri, mengikuti
keinginan orang lain hanya agar keberadaanku dapat diterima dunia. Tentu
bukan seperti itu yang aku inginkan. Ah, rasanya aku ingin menangis.
Sungguh aku merindukanmu, hatiku...
Aku
ingin berbincang-bincang tentang apa saja dengan hatiku. Seperti awan
yang berarak itu... Kenapa ketika aku berlari ia tampak mengikutiku dan
saat aku berhenti awan-awan itupun terdiam. Apa seperti itu kita
menjalani kehidupan? Kita mempengaruhi kehidupan di sekitar kita.
Walaupun memang sudah lama teori dunia yang berpusat pada manusia
terbantahkan dan diganti oleh “dunia yang berpusat pada matahari”. Namun
kurasa ada bagian tertentu dimana manusia memang menjadi pusat bagi
dunianya sendiri. Misalnya saja manusia memang mempengaruhi
lingkungannya. Manusia bisa menjadi seorang yang mencemari lingkungan,
namun juga bisa menyelamatkan lingkungan. Bisa menjaga tubuhnya sendiri,
namun juga bisa menyakiti dirinya sendiri. Sungguh betapa
membingungkannya makhluk yang bernama manusia itu. Tinggal kehidupan
yang seperti apa yang ingin kita jalani?. Tampaknya pagi ini semua
kembali bekerja sama dengan baik. Aku seperti terlahir kembali dan
menjadi manusia yang baru. Manusia yang menyadari bahwa manusia terdiri
dari bagian tubuh yang berbeda namun menyatu. Dan kita harus saling
menjaga satu sama lain agar hidup ini menjadi lebih bermakna.
Comments
Post a Comment
Silakan komentar :)