Nenek yang Kecopetan

Beberapa minggu yang lalu baru saja aku membaca cerpen karya Ahmad Tohari, yang berjudul “Penipu Keempat”. Dan disitu aku sadar, bahwa manusia itu bisa melakukan apa saja di dunia ini, termasuk menipu dari satu tempat ke tempat lain, menipu pada satu orang ke orang lain, bahkan kadang menipu pada orang yang sama dengan modus yang sama pula. Dan kali ini aku mengalaminya. Bedanya orang itu sudah sangat tua, seorang nenek-nenek, yang tadinya pun aku tidak menyadari bahwa nenek itu berbohong untuk mendapatkan uang.

Ceritanya saat pulang sekolah, waktu itu hari Jumat. Aku ingat karena waktu itu angkot yang biasa aku naiki ramai sekali penumpang. Sudah beberapa angkot melewatiku. Aku masih berdiri di depan tugu pancasila, masih menunggu angkot yang agak longgar. Tiba-tiba saja ada seorang nenek yang mendekat. Dia bercerita bahwa dia baru pulang dari Malang tapi dia kecopetan. Disini ia ingin bertemu dengan anaknya. Dompetnya sudah tidak ada, dia tidak bisa pulang naik angkot. Dia pun meminta uang untuk ngangkot kepadaku. Wajahnya memelas kasihan. Mengingatkanku pada mbahku yang sudah meninggal beberapa tahun yang lalu. Refleks aku memberikan uang Rp3000 untuk nenek itu naik angkot. 
“Niki mbah, ngge ngangkot” kataku sambil menyerahkan uang. 
Nenek itu sangat berterima kasih kepadaku 
“Matur nuwun nggeh, mugi-mugi njenengan sehat slamet nggeh.”, kata nenek itu. “Nggih mbah, aamiin.”, kataku. 
Lalu aku menanyakan nenek itu mau pulang ke mana, dan aku menunjukkan angkot yang harus dipakai nenek itu karena aku pikir dia adalah pendatang dari jauh. Beberapa saat kemudian angkot yang aku tunggu datang, aku pun berpamitan pada nenek itu. Nenek itu tersenyum padaku.

Beberapa hari setelah itu, aku masih pulang dengan naik angkot. Dari dalam angkot yang sedang melaju, aku melihat nenek yang kemarin kecopetan duduk di sebuah halte. Aku teringat kejadian waktu itu, dan bertanya dalam hati, “apa nenek itu belum pulang lagi ke Malang ya ?, bagaimana keadaan anaknya ? mungkin dia ingin tinggal disini.”

Dan kejadian yang mengagetkan terjadi hari ini, hari Sabtu. Saat berjalan menuju pangkalan angkot, aku melihat nenek itu dari kejauhan. Aku sudah senang, apakah nenek itu masih mengenaliku ? Banyak pertanyaan yang ingin aku tanyakan kepadanya. Namun saat berpapasan, nenek itu berkata kepadaku. 
“Niki kula sanes pengemis, bukan orang minta-minta nggeh. Kula bar kecopetan, mboten gadeh arto ngge ngangkot. Nyuwun Rp3000 mawon ngge ngangkot nggeh.” 
Deg! Aku pun kaget. Aku kembali teringat dengan cerpen Ahmad Tohari, “penipu keempat”. Aku lama berpikir, “Apa mungkin nenek itu tidak mengenaliku karena hari itu aku memakai jas hitam ya?. Tapi harusnya sih dia tahu kalo dia juga pernah meminta uang padaku waktu itu.” Melihat aku yang ragu akan memberikan uang atau tidak, nenek itu mengulangi kata-katanya bahwa dia bukan pengemis. Dia membari tahukan namanya dan berkata bahwa ia adalah seorang istri polisi yang sudah mati. Aku sebenarnya ragu, karena keluargaku sendiri sedang kesusahan uang. Aku sengaja tidak jajan agar bisa ditabung. Apakah aku harus memberikan uang itu?. Di dalam saku pun tidak ada uang Rp3000 pas, hanya Rp2000-an 2 lembar, dan Rp10.000-an. Bodohnya, aku tanya kepada nenek itu,
“Onten susuke mboten mbah ? (Ada kembalian ngga mbah?)”.
Duh, bodoh banget, jelas-jelas nenek itu berkata  habis kecopetan, berarti dia tidak membawa uang sama sekali. Ya mungkin aku berkata seperti itu karena aku memang tidak ikhlas saat akan memberi, karena pikiranku saat itu, “nenek itu penipu!, nenek itu penipu! Jangan percaya Tang!”.  Beberapa saat kemudian, aku akhirnya menyerahkan uang Rp4000 kepada nenek itu. Mungkin nenek itu lebih membutuhkannya sampai-sampai dia dengan ikhlas berbohong, atau bisa saja dia kecopetan lagi, tapi kebenaran dari kemungkinan itu tipis sekali. Pakaiannya lusuh,matanya sayu. Siapa pencopet yang tega mencopet nenek itu hingga 2 kali?. Saat itu, aku sungguh mengutuk anak-anaknya, bagaimana bisa mereka membiarkan nenek ini sendirian. Apakah anak cucunya tidak memberinya makan, sehingga ia harus berbohong untuk mendapatkan uang?. Atau mungkin dia memang hidup seorang diri, nenek tua seperti dia sudah tidak bisa mencukupi hidupnya sendiri, jadi untuk mendapat makan ia harus melakukan itu. Mungkin nenek itu cepat atau lambat menyadari bahwa ia berbohong pada orang yang sama. Di akhir kata, nenek itu kembali mendoakanku, “mugi-mugi slamet nggeh”. aku hanya tersenyum tipis. 
“Ya setidaknya aku mendapatkan doa dari nenek itu”, kataku dalam hati. 

Dengan kejadian ini, Tuhan seperti sedang berbicara kepadaku agar suatu saat nanti, saat aku dewasa, jangan sampai sekali-sekali menelantarkan orang tua kita. Ya, aku berjanji dalam hati.


Comments