MASYARAKAT SAKAI DI RIAU

1) Nama Dan Bahasa

Menurut Boechary Hasmy (1970),mantan kepala Kecamatan Mandau, nama Sakai berasal dari gabungan kata-kata “Sungai, Air, Kampung, Anak, dan Ikan”. Hal ini mencerminkan pola kehidupan mereka di kampung tepi hutan di hulu anak sungai yang banyak ikan dan air untuk minum dan mandi.

Menurut Saepel, seorang tua bekas kepala perbatinan (dukuh) Sakai, kata Sakai berasal dari kata Sekai, yaitu nama cabang anak sungai yang bermuara di Sungai Mandau.

Nama Sakai juga berasal dari kata “Saka” yaitu tiang rumah panggung utama, atau juga kata sikai, yaitu sejenis pohon salak yang tidak berbuah yang ada di hutan tempat tinggal mereka dan biasa dipakai untuk dijadikan atap rumah.

Loeb dan Mozkowski menyatakan bahwa kata Sakai berkonotasi merendahkan dan menghina karena mempunyai arti yang kira-kira sama dengan budak, orang tidak beradab. Orang-orang Sakai lebih senang menyebut dirinya sebagai “Orang Batin”.

Untuk berhubungan dengan orang lain, orang Sakai menggunakan bahasa Sakai yang merupaka perpaduan antara bahasa Melayu dan bahasa Minangkabau.

2) Lokasi dan Asal-usul

Orang Sakai hidup dalam wilayah Kabupaten Bengkalis, Riau. Jumlah Orang Sakai yang terbanyak terdapat di Kecamatan Bukit Batu (1993).

Menurut para ahli, Orang Sakai datang dari kerajaan Pagarruyung, Mingangkabau, Sumatra Barat dalam dua gelombang migrasi.

Migrasi yang pertama kira-kira sekitar abad ke 14,langsung ke daerah Mandau. Mereka tersisa lima keluarga, yang kemudian dinamakan perbatinan lima (lima dukuh).

Migrasi kedua diperkirakan tiba di Riau pada sekitar abad ke 18, yang datang dari Kerajaan Gasib, dan kemudian diserang oleh Kerajaan Aceh, sehingga penduduknya habis atau lari ke hutan. Mereka dihutan membuat 8 permukiman yang dinamakan perbatinan delapan.

Perbedaan perbatinan lima dan delapan adalah dalam perbatinan delapan terdapat perbatinan berjenjang, yaitu perbatinan induk-pucuk, dan perbatinan anak.

Desa yang tergolong perbatinan lima : Minas, Penaso, Beringin, Sakai, Belutu, Kandis, dan Tengganau.

Desa yang tergolong Perbatinan delapan : Petani, Air Jamban, Duri, Pinggir, Semunai (perbatinan induk-pucuk), dan Semangga Duri km 13, Balai Makam, Kandis, dan Syam-Syam (perbatinan anak).

3) Ras

Menurut Mozkowski (1908, 1909), orang Sakai termasuk ras Veddoid, dengan raambut keriting berombak, kulit cokelat kehitaman, tinggi tubuh laki-laki sekitar 155 cm, dan perempuan 145 cm. Tetapi menurut pengamatan di lapangan, ciri tubuh mereka beraneka ragam. ada yang tingginya sampai 170 cm, kning langsat, rambutnya berombak dan keriting. Mungkin diantara mereka ini telah berlangsung perkawinan dengan berbagai ras di masa lalu.

4) Mata Pencaharian

Pola hidup orang Sakai pada dasarnya adalah mengembara. Mereka hidup dari meramu hasil hutan, berburu dan menangkap ikan, sambil menanami ladang mereka dengan ubi menggalo. Namun kebiasaan mengembara ini telah berubah sejak ada perintah dari Sultan Siak, yang mengharuskan orang Sakai menanami ladang mereka dengan padi. Penanaman padi diikuti dengan upacara sakral, namun penanaman ubi dilakukan dengan cara biasa, tanpa perawatan yang sungguh-sungguh atau upacara.

5) Sistem Kekerabatan

Sistem kekerabatan orang Sakai memperlihatkan gabungan antara sistem parental (seperti orang Jawa) dengan sistem matrilineal (seperti orang Minangkabau). Peran saudara tua laki-laki dari pihak ibu sangat penting dalam masalah perkawinan, warisan, dan penghormatan (mirip dengan hbungan mamak-kemanakan dari Minangkabau)

Pola menetap setelah menikah pada dasarnya adalah uksorilokal, yaitu menetap di lingkungan kerabat istri.

6) Kematian

Sebelum orang Sakai mengenal agama Islam dan Kristen, mayat orang yang meninggal dunia diletakkan di tengah-tengah rumah sampai semua kerabatnya datang melayat. Khususnya sampai paman dari pihak Ibu (Pak kuneng) hadir. Cara mereka melayat adalah dengan mengucurkan darah ke bagian muka dan dada jenazah dengan cara menoreh kening masing-masing. Tujuannya adalah untuk meminta maaf atas segala kesalahan dan memaafkan kesalahan si mati agar hidupnya di alam kubur sejahtera. Pengucuran darah hanya dilakukan oleh laki-laki. sedangkan perempuan hanya menangis meratapi si mayit.

7) Agama dan Magi

Awalnya orang Sakai bersifat animistik, percaya pada makhluk halus, ruh, dan berbagai kekuatan gaib di alam semesta. Makhluk gaib ini dinamakan antu. Orang Sakai yakin bahwa sakit, kemalangan, malapetaka disebabkan oleh antu. Untuk mengatasi hal itu maka mereka melakukan dikir untuk berdamai dengan antu. caranya dengan memberikan segala kemewahan dan kegembiraan hidup yang digambarkan secara simbolik dalam pentas tarian yang dilakukan oleh dukun.

Sumber : Buku Masyarakat Terasing di Indonesia oleh Koentjaraningrat (Editor) tahun 1993

Comments