Budaya Berpikir Kritis sebagai Upaya Penyadaran Manusia dalam Menangani Kekerasan Seksual
oleh
Lintang Ayu Saputri
Tragedi Hilangnya Rasa Kemanusiaan Manusia
Akhir-akhir ini masyarakat Indonesia dikejutkan oleh berbagai media yang memberitakan kekerasan seksual yang tidak bisa dinalar oleh akal manusia. Seorang gadis desa yang masih berseragam SD diperkosa oleh 14 anak laki-laki sampai ia harus kehilangan nyawa. Seorang ayah kandung, yang seharusnya melindungi putrinya, justru dengan senang hati mencabuli anak gadisnya sendiri. Baru-baru ini bahkan dengan teganya seorang pemerkosa sampai memasukkan gagang cangkul ke dalam kemaluan korban hingga merobek paru-parunya! GILA!!! Bagaimana mungkin seorang manusia dengan teganya melakukan itu semua kepada sesama manusia?. Bahkan setelah melampiaskan nafsu biadabnya, tak jarang para pelaku menghabisi nyawa korban dengan sadis. Mengapa ini semua dapat terjadi? Mengapa semakin banyak manusia yang kehilangan moralnya? Kemanakah hati nurani manusia saat ini? Kenapa manusia semakin lupa pada rasa kemanusiaannya?
Berawal dari Pola Pikir dan Budaya
Reza A.A. Wattimena, seorang dosen filsafat mengatakan bahwa para pelaku kekerasan seksual melihat korbannya hanya sebagai benda yang dapat digunakan untuk kepuasan mereka. Jika dalam pemikiran Marxis, pola pikir seperti ini dinamakan reifikasi, atau Verdinglichung yang artinya pembendaan. Manusia melihat manusia lain hanya sebagai bagian dari alat produksi untuk meraih keuntungan ekonomi. Pola pikir seperti inilah yang akhirnya melahirkan pelacuran, pemerkosaan, bahkan pembunuhan sadis. Mereka melakukan semua itu hanya untuk memuaskan diri mereka.
Namun, apakah ini adalah sisi alami manusia? Apakah manusia memang tercipta dengan mempunyai pola pikir “hanya mencari kepuasan sendiri”? Manusia terlahir seperti kertas putih, namun kemudian ia tumbuh dan dibesarkan oleh budaya. Budaya sangat berpengaruh dalam membentuk cara pandang manusia terhadap dunia disekitarnya.
Masyarakat yang memaksa orang berperilaku tertentu atas dasar moralitas dan adat istiadat tanpa mengajarkan bagaimana berpikir kritis dengan akal sehat, membuat orang tidak dapat berpikir secara jernih, “apa dampak yang ditimbulkan jika aku melakukan ini?” Budaya seperti ini juga terjadi dalam proses pendidikan di Indonesia. Pendidikan saat ini cenderung menggunakan metode hafalan daripada memberikan pemahaman dan berpikir kritis. Orang-orang lebih mengutamakan hasil/nilai daripada prosesnya. Maka jangan kaget ketika melihat banyak orang yang dengan senang hati melakukan berbagai macam cara untuk memuaskan dirinya.
Budaya menjadikan perempuan sebagai kelas dua yang tidak berdaya ikut menjadi salah satu penyebab mengapa kebanyakan korban kekerasan seksual adalah perempuan. Budaya “menabukan” pembicaraan mengenai seksualitas juga merupakan kesalahan yang cukup besar dalam membenahi pola pikir para pelaku kekerasan seksual. Seksualitas sampai sekarang masih dianggap sebagai pembicaraan yang bersifat privasi sehingga masyarakat masih kurang paham bagaimana cara mengendalikan hasrat seksualnya. Orang-orang tidak bisa dilatih untuk mengendalikan hasrat seksualnya ketika pembicaraan mengenai seksualitas pun masih dianggap tidak layak untuk diperbincangkan, atau kalau kata orang jawa “saru”. Akhirnya semakin orang dilarang semakin ia ingin tahu bagaimana sebenarnya seks itu dan yang ada justru ia terjerumus dalam kesesatan karena tidak didampingi dengan pemahaman yang benar .
Apa yang sudah kita lakukan?
Dalam menyikapi permasalahan kekerasan seksual yang terjadi, masyarakat tentunya menuntut keadilan bagi semua pihak. Namun dalam hal menuntut keadilan, selama ini masyarakat masih hanya menggunakan pendekatan legalistik dimana kita harus menghukum pelaku dengan hukuman seberat-beratnya karena telah melanggar nilai-nilai yang telah disepakati.
Para pembuat kebijakan melupakan sesuatu yang penting dalam membuat kebijakan. Mereka melupakan pertanyaan “mengapa masalah ini terjadi?”. Kebijakan yang selama ini dibuat masih bersifat reaktif tanpa mencari tahu penyebab masalah yang paling mendasar, yaitu pola pikir manusia. Selama ini sosialisasi nilai-nilai kemanusiaan hanya sekedar hafalan. Sejak kecil kita diberi pendidikan agama, pancasila, moral, dan etika. Namun semua itu semata-mata untuk mencari nilai atau untuk sekedar lulus ujian. Kita tidak diajarkan bagaimana proses berpikir kritis untuk mencari kebenaran. Inilah point penting alasan mengapa manusia semakin kehilangan rasa kemanusiaannya bahkan setelah ia mendapatkan pendidikan moral, karena metodenya yang masih belum tepat.
Daripada membenahi pola pikir masyarakat, kita masih sibuk mencari-cari siapa yang salah, si pelaku ataukah korban. Kita juga yang melestarikan perempuan sebagai masyarakat kelas dua dimana merekalah yang harus menjaga diri mereka agar tidak mengundang nafsu para pelaku kekerasan seksual. Konsep menyalahkan perempuan yang mengundang hasrat laki-laki tentunya merupakan konsep yang keliru. Hal ini dibuktikan dengan tidak semua korban kekerasan seksual berpakaian minim dan mengundang hasrat lelaki. Bahkan banyak pula perempuan difabel yang menjadi korban kekerasan seksual. Anak-anak yang belum tahu apa-apa pun tak luput menjadi sasaran korban kebiadaban mereka. Kita cenderung menyalahkan perempuan yang mengundang hasrat seksual , namun di saat yang bersamaan kita tidak mendidik para pelaku untuk dapat mengontrol hasrat seksualnya. Bagaimana kia dapat mendidik kontol diri? pembicaraan seksualitas pun sampai saat ini masih ditabukan.
Sebuah Tawaran: Budaya Berpikir Kritis dalam Revolusi Pendidikan
Sebenarnya inti masalah dari kekerasan seksual ini merupakan kesalahan budaya dalam membentuk pola pikir masyarakat. Untuk merubah pola pikir masyarakat, kita dapat merubah metode sosialisasi nilai-nilai kemanusiaan, terutama dalam hal pendidikan, baik pendidikan formal seperti sekolah maupun pendidikan informal seperti keluarga dan agama.
Penanaman nilai-nilai kemanusiaan ini seharusnya bukanlah menggunakan metode hafalan. Namun menggunakan pemahaman dengan landasan berpikir kritis. Dengan berpikir kritis manusia dapat berpikir secara menyeluruh bagaimana ia harus mengambil keputusan, sehingga tindakan yang ia lakukan merupakan tindakan yang bijaksana. Dengan mengubah sistem pendidikan ini, diharapkan dapat membuat manusia menjadi semakin bijaksana dan dapat memuliakan manusia lainnya. Dengan berpikir kritis, kita juga menjadi sadar bahwa seksualitas bukanlah hal tabu untuk dibicarakan. Justru kita, sebagai masyarakat perlu membimbing agar pemahaman seksualitas yang ada di dalam masyarakat adalah pemahaman yang benar. Dengan berpikir kritis, kita akan tahu bahwa laki-laki dan perempuan adalah sama. Tidak ada kelas pertama atau kelas kedua. Kita semua adalah sama sebagai umat manusia.
Perubahan budaya berpikir ini memang tak mungkin cepat berubah begitu saja. Namun perubahan ini dapat dipercepat melalui berbagai gerakan pembudayaan dan internalisasi nilai yang terencana dan dengan komitmen yang tinggi dari para pemangku kebijakan serta masyarakat. Itu sebabnya gerakan ini harus menjadi suatu revolusi, yaitu gerakan yang dilakukan secara bersama-sama dalam waktu bersamaan. Tanpa disertai dengan revolusi pendidikan, seideal apapun suatu sistem yang dibuat, tidak akan berdampak banyak karena tindakan kita sangat dipengaruhi oleh cara pandang kita mengenai dunia.
Referensi
Wattimena, Reza A.A.,2016., Melampaui Pemerkosaan, www.rumahfilsafat.com, Diakses pada tanggal 5 Juni 2016
Comments
Post a Comment
Silakan komentar :)