Allan dan Layang-Layang Ajaib


Dahulu kala di Sulawesi Tenggara hiduplah sekelompok suku bernama suku Muna. Mereka hidup di lembah. Angin bertiup kencang disana. Buah-buahan tumbuh dimana-mana. Bunga pun banyak tumbuh bermekaran. Di lembah itu tinggallah Allan dan Neneknya di sebuah gubuk di pinggir hutan.

Allan adalah seorang anak yatim piatu, ia ditinggalkan oleh kedua orang tuanya sejak ia masih kecil. Jadi sampai sekarang Allan hidup bersama Neneknya. Nenek Allan hanyalah seorang penjual kayu bakar. Walaupun mereka hanya hidup sederhana, namun mereka tidak pernah mengeluh. 


Seperti biasa, saat Neneknya sedang mencari kayu bakar di hutan, Allan berjalan-jalan berkeliling desa. Sebenarnya Allan ingin sekali bermain dengan teman-temannya. Namun saat ia mencoba mendekati teman-temannya, mereka menjauh dari Allan.

“Teman-teman, bolehkah aku bermain bersama kalian ?” Tanya Allan kepada sekelompok anak yang sedang bermain dopodadara, gundu milik suku muna.
“Mana mungkin kau bisa bermain dengan kami, kau kan tidak punya dopodara.” Kata Dodo.
“Iya, dia kan anak miskin, mana mungkin bisa membeli dopodara buatan pamanku.” Kata Bombom.

Dengan wajah sedih Allan pun meninggalkan mereka. Allan tidak pernah marah walaupun mereka mengejeknya. Sebenarnya Allan juga ingin memiliki dopodara seperti yang dimiliki anak-anak lain. Namun ia tidak mau merepotkan Neneknya. Jangankan memiliki dopodara, untuk makan sehari-haripun mereka masih kesusahan. Allan tidak ingin menambah beban Neneknya. Sungguh Allan memang memiliki hati yang baik. 


Melihat Allan berjalan dengan sedih, Bitan pun merasa kasihan.

“Mengapa kau berwajah murung seperti itu, wahai anak yang baik hati?” Tanya Bitan, sebuah Ubi Hutan.
“Siapa disana ?!” Tanya Allan terkejut mendengar suara itu.
Allan menengok ke kanan dan ke kiri namun tidak ada siapa-siapa di sekitarnya. Allanpun mulai ketakutan.
“Ho..hoo..hoo... Jangan takut, nak. Ini aku, Ubi Hutan yang ada di belakangmu. Berbaliklah.” Jawab Bitan.
“Bagaimana kau bisa bicara ?” Tanya Allan masih ketakutan.
“Ho..hoo..hoo... Aku memang bisa bicara. Tuhan menciptakanku lebih istimewa dari pohon yang lain. Namun hanya pada orang-orang tertentu aku mau bicara.” Jawab Bitan sambil tertawa.
Allan masih tidak percaya, ia hanya memandangi Ubi Hutan yang berkedip padanya.
“Aku lihat kamu selalu murung setelah berbicara pada anak-anak itu, kenapa kamu sedih ?” Tanya Bitan memulai pembicaraan.
“Aku sedih karena aku tidak bisa bermain dengan mereka.” Jawab Allan.
“Kenapa kamu tidak bisa bermain dengan mereka ?” Tanya Bitan lagi.
“Aku tidak punya dopodara yang bagus seperti mereka. “ Jawab Allan sambil menundukkan kepala.
“Sudahlah, jangan sedih lagi. Aku tahu bagaimana perasaanmu saat tidak bisa bermain dengan teman-teman yang lain. Maka dari itu, ambillah beberapa helai daunku. Buatlah sebuah layang-layang. Nanti Layang-layang itu yang akan menemanimu bermain.
“Benarkah ? Terima kasih Ubi Hutan, kau sungguh Baik.” Ucap Allan senang.
Allan pun segera mengambil beberapa helai daun Ubi Hutan  lalu membawanya pulang ke gubuk. Sesampainya di gubuk. Allan segera membuat layang-layang dari Ubi Hutan itu. Allan membuat layang-layang yang sangat besar. Hingga ia kelelahan dan langsung tertidur saat selesai membuat layang-layang itu.

Keesokan Paginya, Allan merasa ada yang bergerak di atas kepalanya. Allan pun membuka mata dan ia langsung terkejut lalu segera bangun dari dipan.

“Selamat pagi Allan.” Ucap layang-layang.
Allan masih belum percaya.
“Apakah aku sedang bermimpi?” Tanya Allan.
“hihihi... kamu tidak bermimpi Allan, ini nyata. Lihatlah matahari sudah bersinar. Kemarin kau kelelahan karena membuatku, sampai-sampai kau tertidur.” Ucap layang-layang sambil tertawa.
“Apakah kau yang akan menemaniku bermain, seperti yang dikatakan Ubi Hutan kemarin?” Tanya Allan.
“Tentu saja, ayo naiklah ke punggungku. Aku akan membawamu bermain di awan.” Kata Layang-layang.
Allan pun menaiki layang-layang, mereka terbang bebas di angkasa. Allan sangat senang sekali. Tidak pernah ia merasakan kesenangan selain saat terbang bersama layang-layang. Dari atas awan, Allan melihat desanya sangat kecil dari sana. 
“Layang-Layang, apakah kau mau menjadi sahabatku selamanya ?” Tanya Allan.
“Jika Tuhan mengijinkan, aku akan terus bersamamu Allan.” Jawab layang-layang.

Matahari sudah hampir tenggelam. Merekapun terbang pulang ke gubuk.

Walaupun Allan sudah memiliki teman seperi layang-layang, namun Allan tidak melupakan anak-anak desanya. Karena Allan mempunyai layang-layang ajaib, satu persatu anak-anak suku Muna mau berteman dengan Allan dan layang-layangnya.
“Maafkan aku Allan, waktu itu aku tidak mau bermain denganmu.” Kata Bombom.
“Tidak apa-apa Bombom, aku sudah memaafkanmu sejak dulu.” Jawab Allan sambil tersenyum.
“Terima kasih Allan, kau sungguh baik.” Ucap Bombom sambil memeluk Allan.
“Iya sama-sama. Sekarang naiklah ke layang-layang ini. Apakah kamu tidak ingin menaikinya seperti anak-anak yang lain ?” Tanya Allan.
“Tentu saja aku ingin.” Jawab Bombom segera.

Bombom pun terbang bersama layang-layang. Anak-anak suku Muna bergantian mengendarai layang-layang itu. semua anak merasa senang. Allan pun ikut senang karena melihat teman-temannya senang. Sejak saat itu semuaa anak suku Muna bersahabat dengan layang-layang Allan.


Beberapa tahun kemudian, Tiba-tiba saja Nenek Allan sakit keras. Umur nenek Allan memang sudah cukup tua.  Allan sudah mencoba mencari obat ke tabib desa. Namun Nenek Allan tidak kunjung sembuh. Sampai akhirnya, pada suatu malam, nenek allan meninggal dunia. Allan pun sedih namun ia mencoba tegar karena ia yakin, neneknya pasti akan hidup bahagia di surga.


Keesokan paginya Kepala suku memimpin upacara pelepasan roh Nenek Allan. Upacara 

berjalan khidmat. Semua warga suku Muna berkumpul di upacara itu. Di akhir upacara, Allan meminta sesuatu kepada layang-layang.
“Wahai Layang-layang, kau dapat terbang jauh melintasi angkasa. Untuk terakhir kalinya, aku memohon kepadamu, antarkanlah nenekku ke surga, Jagalah ia agar ia hidup bahagia disana.” Ucap Allan.
“Baiklah Allan, karena kau sahabat terbaikku, aku akan melakukan apa yang kau inginkan. Namun ijinkanlah aku berpesan pada teman-temanmu yang lain.” Pinta Layang-layang.
“Apa yang ingin kau katakan Layang-layang?” Tanya anak-anak suku.
“Pesanku adalah, janganlah kalian menunggu datangnya keajaiban untuk berteman dengan anak lain. Bertemanlah dengan tulus, karena pertemanan yang sejati tidak memandang apakah ia kaya atau tidak.” Ucap Layang-layang.
“Baiklah layang-layang, kami berjanji. hik... hik... kau sudah kami anggap sebagai sahabat kami.” ucap anak-anak sambil menangis melepaskan layang-layang pergi

Layang-layang pun terbang semakin menjauhi desa suku Muna, Samar-samar Allan melihat neneknya terbang menaiki layang-layangnya.

“Selamat tinggal Layang-Layang, Selamat tinggal Nenek!!!” Seru Allan.
Akhirnya layang-layangpun menghilang di angkasa. Kini semua anak suku muna bersahabat. Lalu apa yang mereka mainkan ? Bukankah mereka sudah kehilangan Layang-Layang ajaib? Oh... ternyata mereka bersama-sama membuat layang-layang dari daun Ubi Hutan, jika di dalam bahasa suku Muna dinamakan Kolope. Mereka menyebut permainan ini Kaghati Kolope, artinya Layang-layang dari daun Ubi Hutan. Sampai sekarangpun permainan ini masih terus di mainkan. Bahkan Layang-Layang Suku Muna kini menjadi terkenal di seluruh dunia.

Comments